Selasa, 02 November 2010

APA PANTAS BERHARAP SURGA?


APA PANTAS BERHARAP SURGA?

Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib
sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya.
Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Baca Qur'an sesempatnya, tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadan malas. Yang begini ngaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya.
Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata.
Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, itu pun dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum.
Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata miliki Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. 

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik
dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakan tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap
surga Allah?

Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan
lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan. 

Astaghfirullaah …

istiqfar, dzikir dan berpikir

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar
datang menghadap Rasulullah saw dan meminta sesuatu kepada beliau.
Rasulullah bertanya kepada lelaki tersebut, "Adakah sesuatu di
rumahmu?". "Ada, ya Rasulullah!" jawabnya, "Saya mempunyai sehelai
kain tebal, yang sebagian kami gunakan untuk selimut dan sebagian
kami jadikan alas tidur. Selain itu saya juga mempunyai sebuah
mangkuk besar yang kami pakai untuk minum."
"Bawalah kemari kedua barang tersebut," sambung Rasulullah.

Lelaki itu membawa barang miliknya dan menyerahkannya kepada
Rasulullah. Setelah barang diterima, Rasulullah segera melelangnya.
Kepada para sahabat yang hadir pada saat itu beliau menawarkan,
siapakah yang mau membeli.

Salah seorang menawar kedua barang itu dengan harga satu dirham.
Tetapi Rasulullah menawarkan lagi, barangkali ada yang sanggup membeli
lebih dari satu dirham, "Dua atau tiga dirham?" tanya Rasulullah
kepada para hadirin sampai dua kali. Inilah lelang pertama kali yang
dilakukan Rasulullah.

Tiba-tiba ada salah seorang sahabat menyahut, "Saya beli keduanya
dengan harga dua dirham." Rasulullah menyerahkan kedua barang itu
kepada si pembeli dan menerima uangnya. Uang itu lalu beliau serahkan
kepada lelaki Anshar tersebut, seraya berkata, "Belikan satu dirham
untuk keperluanmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kapak dan engkau
kembali lagi ke sini."


Tak lama kemudian orang tersebut kembali menemui Rasulullah dengan
membawa kapak. Beliau melengkapi kapak itu dengan membuatkan gagangnya
terlebih dahulu, lantas berkata: "Pergilah mencari kayu bakar, lalu
hasilnya kamu jual di pasar, dan jangan menemui aku sampai dua pekan."

Lelaki itu taat melaksanakan perintah Rasulullah. Setelah dua pekan ia
menemui kembali Rasulullah untuk melaporkan hasil kerjanya. Lelaki itu
menuturkan bahwa selama dua pekan itu ia telah berhasil mengumpulkan
uang sepuluh dirham setelah sebagian dibelikan makanan dan pakaian.

Mendengar penuturan lelaki Anshar itu, Rasulullah bersabda,
pekerjaanmu ini lebih baik bagimu daripada kamu datang sebagai
pengemis, yang akan membuat cacat di wajahmu kelak pada hari kiamat."

Melalui kisah ini kita diberi pelajaran oleh Rasulullah tentang arti
pentingnya kerja. Bekerja dalam Islam bukan sekadar untuk memenuhi
kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri, martabat
kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Oleh karenanya, bekerja
dalam Islam menempati posisi yang mulia.

Islam sangat menghargai kerja atau usaha. Sedemikian tingginya
penghargaan itu sehingga orang yang bersungguh-sungguh bekerja
disejajarkan dengan mujahid fi sabilillah. Kerja tidak hanya
menghasilkan nafkah materi, tapi juga pahala, bahkan maghfirah dari
Allah swt.

Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja
dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan
kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur,
selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri,
juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan
menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Salah satunya adalah
meminta-minta. Perbuatan ini merupakan kehinaan, baik di sisi manusia
maupun di sisi Allah swt. Orang yang meminta-minta kepada sesama
manusia tidak saja hina di dunia, tapi juga akan dihinakan Allah kelak
di akhirat.

Bekerja, selain mendatangkan pahala juga memberi banyak manfaat lain.
Dengan bekerja seseorang akan selalu berpikir untuk memperbaiki mutu
pekerjaannya. Dengan demikian maka tidak ada lagi sisa waktu untuk
berandai-andai, berkhayal dan melamun. Sebaliknya, bagi orang-orang
yang menganggur, berkhayal merupakan kesibukan yang menghabiskan
waktunya. Padahal diketahui bahwa berkhayal itu merupakan bisikan
syetan. Di sinilah pangkal segala tindak kejahatan.

Untuk menanggulagi kejahatan itu sebenarnya sederhana saja. Ciptakan
lapangan pekerjaan dan suruh semua orang bekerja, terutama para
pemudanya. Insya-Allah secara otomatis angka kriminalitas menurun
drastis.

Bekerja juga berkait dengan kesucian jiwa. Seorang yang sibuk bekerja
akan kehabisan waktu untuk bersantai-santai, ngobrol sana-sini,
apalagi melakukan ghibah, membincangkan orang lain. Ghibah tidak saja
merupakan kebiasaan wanita, tapi juga kaum laki-laki yang banyak waktu
luangnya.

Begitu pentingnya arti bekerja, sehingga syariaat Islam menetapkannya
sebagai suatu kewajiban. Setiap muslim yang berkemampuan wajib
hukumnya bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang sangat dihormati.
Ilmunya luas dan muridnya banyak. Di tengah kesibukannya belajar dan
mengajar, ia masih menyempatkan diri untuk bekerja sehingga tidak
jelas lagi apakah ia seorang pedagang yang ulama atau ulama yang
pedagang. Baginya, berusaha itu suatu keharusan, sedangkan berjuang,
belajar dan mengajarkan ilmu itu juga kewajiban.

Suatu kali ia didapati oleh salah seorang sedang berdagang. Orang tadi
merasa iba bercampur heran, kenapa ulama besar sekaliber itu masih
juga bekerja. Ia tanyakan hal itu kepada sang Imam, dan kemudian
didapatkan suatu jawaban yang luar biasa. Ia katakan bahwa bekerja itu
bukan suatu yang hina, tapi mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Bukankah nabi-nabi Allah adalah para pekerja? Sebagian menjadi
penggembala, petani, tukang pande besi, juga pedagang.


Di tengah kaumnya, Rasulullah saw dikenal sebagai pedagang yang
sukses. Beliau tidak hanya berhasil mengembangkan modal istrinya, tapi
juga modal yang ditanam oleh masyarakat sekitarnya. Beliau tidak hanya
sukses membawa keuntungan materi, tapi juga sukses mengharumkan
namanya. Di tengah masyarakatnya beliau dikenal jujur dan amanah.
Di tengah praktek bisnis yang kotor, penuh tipu daya, beliau berhasil
mengembangkan paradigma baru yang sama sekali berbeda dengan yang
sudah ada.

Tentang nilai usaha ini, Islam tidak hanya bicara dalam dataran teori,
tapi juga memberikan modelnya. Artinya, konsep kerja itu menyangkut
juga aplikasinya. Bukankah Rasulullah sebagai uswatun hasanah, top
figure ummat Islam adalah seorang pekerja? Bukankah para sahabat yang
mengelilingi beliau adalah juga para pekerja?


Dalam pandangan Islam, seorang yang bersusah-payah mencari rezeqi yang
halal, yang hasilnya digunakan sepenuhnya di jalan Allah disamakan
derajatnya dengan para mujahid yang berperang di jalan Allah.
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang berkarya
dan terampil. Barangsiapa yang bersusah-payah mencari nafkah untuk
keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah
Azza wa Jalla." (HR Ahmad)

Kelelahan seorang muslim dalam mencari rezeki dinilai oleh Allah
sebagai pahala. Bahkan bisa menjadi penebus dosa. Orang yang pulang ke
rumah dalam keadaan kepayahan karena seharian bekerja akan diampuni
oleh Allah swt. Dalam kaitan ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah
sabdanya: "Barangsiapa yang pada malam harinya merasa kelelahan karena
bekerja pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah
swt." (HR Ahmad)

Kenapa orang yang bekerja itu mendapatkan pahala di sisi Allah swt?
Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam itu merupakan
kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqih, orang yang menjalankan
kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang
meninggalkannya akan terkenai sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja
ini Rasulullah bersabda, "Mencari rizqi yang halal itu wajib sesudah
menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya)." (HR
ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Karena bekerja merupakan kewajiban ummat Islam, maka jangan heran jika
Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar
keluar untuk mencari nafkah. Umar tidak suka melihat orang yang pada
siang hari tetap asyik duduk berdzikir di masjid, sementara sinar
matahari sudah berpancar. Dzikir tidak hanya bisa dilakukan di masjid,
tapi juga bisa dilakukan di pasar, di kantor, di jalan, dan di mana
saja.

Berlaku jujur kepada pembeli itu merupakan dzikir. Tidak mengurangi
timbangan, termasuk tidak mengurangi kualitas itu juga dzikir. Banyak
orang yang mengira bahwa mengurangi timbangan saja yang berdosa,
sedangankan mengurangi kualitas tidak apa-apa. Padahal setiap
pengurangan, baik secara kuantitas (jumlah satuan), maupun kualitas
(mutu barang) sama-sama mengurangi kadar, ukuran, takaran, atau
timbangan. Keduanya merupakan perbuatan kriminal dalam perdagangan.

Berdzikir dalam perjalanan adalah displin berlalu lintas. Tidak ngebut
yang dapat mencelakakan diri maupun orang lain. Taat mengikuti
rambu-rambu lalu lintas, dan tidak mentang-mentang di jalan raya.

Berdzikir di kantor adalah melaksanakan semua pekerjaan dengan baik
dan rapi, disiplin waktu, dan melaksanakan tugas sesuai dengan standar
mutu. Termasuk dzikir di kantor adalah menundukkan pandangan ketika
melihat atau berhadapan dengan karyawati, suatu aktivitas yang sulit
dihindari pada saat ini.

Ungkapan dzikir yang dilakukan oleh orang yang sedang bekerja sangat
berbeda artinya bila dibandingkan dzikirnya orang yang sedang berdiam
diri. Ketika seseorang mendapat musibah dalam bekerja kemudian dia
berucap "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" jauh lebih bermakna
dibandingkan bila diucapkan oleh orang berdiam diri. Ketika seseorang
dapat menyelesaikan suatu pekerjaan berat kemudian dia berucap
"alhamdulillahi rabbil 'alamin", maka penghayatannya jauh lebih
mendalam daripada ucapan bibir tanpa aksi.

Ketika seseorang melakukan kesalahan atau melihat suatu kemaksiatan,
kemudian dia beristighfar, maka istighfarnya menjadi lebih bermakna
ketimbang seribu istighfar yang  dilakukan orang yang sedang tidak
beraktivitas apa-apa. Justru di sinilah nilainya bekerja.

Istighfar semacam ini mungkin jauh lebih berarti daripada istighfarnya
ribuan orang yang dikumpulkan di lapangan dalam suatu acara istighasah
yang penuh dengan rekayasa.


indahnya kasih sayang



Indahnya kasih Sayang

Maha Suci Allah, Zat yang mengaruniakan kasih sayang kepada semua makhluk-Nya. Tidaklah kasih sayang melekat pada diri seseorang, kecuali akan memperindah orang tersebut. Dan tidaklah kasih sayang terlepas dari diri seseorang, kecuali akan memperburuk dan menghinakan orang tersebut. Jika kemampuan kita menyayangi orang lain tercerabut, maka itulah biang dari segala bencana, karena kasih sayang Allah hanya akan diberikan kepada orang-orang yang hatinya masih memiliki kasih sayang.
Karena itu, tidak bisa tidak, kita harus berjuang dengan sekuat tenaga agar hati nurani kita hidup. Kita bisa mengasahnya dengan merasakan keterharuan dari kisah orang yang rela meluangkan waktu untuk memperhatikan orang lain. Kita dengar bagaimana ada orang yang rela bersusah-payah membacakan buku, koran, atau juga surat kepada orang-orang tuna netra sehingga mereka bisa belajar, bisa dapat informasi, dan bisa mendapatkan ilmu yang lebih luas.
Rasulullah SAW bersabda, ''Allah SWT mempunyai seratus rahmat (kasih sayang), dan menurunkan satu rahmat kepada jin, manusia, binatang, dan hewan melata. Dengan rahmat itu mereka saling berbelas-kasih dan berkasih sayang, dan dengannya pula binatang-binatang buas menyayangi anak-anaknya. Dan Ia menangguhkan 99 bagian rahmat itu sebagai kasih sayang-Nya pada hari kiamat nanti.'' (HR Muslim).
Dari hadis ini tampak bahwa walau hanya satu rahmat-Nya yang diturunkan ke bumi, namun dampaknya bagi seluruh makhluk sungguh luar biasa dahsyatnya. Karena itu sudah sepantasnya jika kita merindukan kasih sayang, perhatian, dan perlindungan Allah SWT. Tanyakanlah kembali pada diri ini sampai sejauhmana kita menghidupkan kalbu untuk berkasih sayang dengan makhluk lain?
Kasih sayang dapat diibaratkan pancaran sinar matahari di pagi hari. Dari dulu sampai sekarang ia terus-menerus memancarkan sinarnya, dan ia tidak mengharap sedikit pun sang cahaya yang telah terpancar kembali pada dirinya. Seharusnya seperti itulah sumber kasih sayang di kalbu kita yang melimpah terus tidak pernah ada habisnya. Untuk memunculkan kepekaan dalam menyayangi orang lain, kita bisa mengawalinya dengan lebih dulu menyayangi diri sendiri. Hadapkanlah tubuh ini ke cermin seraya bertanya: Apakah wajah indah ini akan bercahaya di akhirat nanti, atau justru sebaliknya, wajah ini akan gosong terbakar nyala api Jahannam?
Tataplah hitamnya mata kita, apakah mata ini, mata yang bisa menatap Allah, menatap Rasulullah SAW, menatap para kekasih Allah di surga kelak, atau malah akan terburai karena maksiat yang pernah dilakukannya? Bibir kita, apakah ia akan bisa tersenyum gembira di surga sana atau malah bibir yang lidahnya akan menjulur tercabik-cabik? Perhatikan pula tubuh tegap kita, apakah ia akan berpendar penuh cahaya di surga sana, sehingga layak berdampingan dengan pemiliki tubuh mulia, Rasulullah SAW, atau tubuh ini malah akan membara, menjadi bahan bakar bersama hangusnya batu-batu dalam kerak Jahannam?
Bersihnya kulit kita, renungkanlah apakah ia akan menjadi indah bercahaya ataukah akan hitam legam karena gosong dijilat lidah api Jahannam? Mudah-mudahan dengan bercermin sambil menafakuri diri, kita akan lebih mempunyai kekuatan untuk menjaga diri kita. Jangan pula meremehkan makhluk ciptaan Allah, sebab tidaklah Allah menciptakan makhluk-Nya dengan sia-sia. Semua yang Allah ciptakan penuh dengan ilmu dan hikmah. Semua yang bergerak, yang terlihat, yang terdengar, dan apa saja karunia Allah Azza wa Jalla adalah sarana bertafakur kalau hati ini bisa merabanya dengan penuh kasih sayang.
Dikisahkan di hari akhir datang seorang hamba ahli ibadah kepada Allah dengan membawa aneka pahala ibadah, tetapi Allah malah mencapnya sebagai ahli neraka. Ternyata karena suatu ketika si ahli ibadah ini pernah mengurung seekor kucing sehingga si kucing tidak bisa mencari makan dan tidak pula diberi makan sampai ia mati kelaparan. Ternyata walau ia seorang ahli ibadah, laknat Allah tetap menimpanya, karena tidak menyayangi makhluk lain.
Tetapi ada kisah sebaliknya, suatu waktu seorang wanita berlumur dosa sedang beristirahat di pinggir sebuah oase yang berair dalam di sebuah lembah padang pasir. Tiba-tiba datanglah seekor anjing yang menjulurkan lidahnya karena kehausan. Melihat kejadian ini, tergeraklah si wanita untuk menolongnya. Dibukalah slopnya untuk dipakai menciduk air untuk diberikan pada anjing tersebut. Subhanallah, dengan izin Allah, terampunilah dosa wanita ini. Jika hati kita mampu meraba derita makhluk lain, insya Allah keinginan untuk berbuat baik akan muncul dengan sendirinya.
Hidupnya hati hanya dapat dibuktikan dengan apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain dengan ikhlas. Apa artinya hidup kalau tidak punya manfaat? Padahal hidup di dunia cuma sekali dan itupun hanya singgah sebentar saja. Tidak ada salahnya kita terus berpikir dan bekerja keras untuk menghidupkan kasih sayang di dalam hati. Insya Allah bagi yang telah tumbuh kasih sayang di kalbunya, Allah yang Maha Melimpah Kasih Sayang-Nya akan mengaruniakan ringannya mencari nafkah dan ringan pula dalam menafkahkannya di jalan Allah, ringan dalam mencari ilmu dan ringan pula dalam mengajarkannya, ringan dalam melatih kemampuan diri dan ringan pula dalam membela orang lain yang teraniaya, subhanallah.
Cara lain yang dianjurkan Rasulullah SAW untuk menghidupkan hati nurani agar senantiasa diliputi cahaya kasih sayang adalah dengan bersilaturahmi kepada orang-orang yang dilanda kesulitan. Datanglah ke daerah terpencil, tengok saudara-saudara kita di rumah sakit, atau pula dengan selalu mengingat umat Islam yang sedang teraniaya, seperti di Irak, Palestina, atau di tempat-tempat lainnya. Belajarlah terus untuk melihat orang yang kondisinya jauh di bawah kita, insya Allah hati kita akan melembut karena senantiasa tercahayai pancaran sinar kasih sayang. Dan hati-hatilah bagi orang yang bergaulnya hanya dengan orang-orang kaya, orang-orang terkenal, para artis, atau orang-orang elit lainnya, karena yang akan muncul justru rasa minder dan perasaan kurang dan kurang akan dunia ini, masya Allah.

guru kehidupan


Guru kehidupan
(oleh: Ustdz. Rahmad Abdullah)

Ada murid yang dapat belajar dengan guru yang ber-SK, disuapi ilmu dan didikte habis-habisan. Ada yang cukup belajar dari katak yang melompat atau angin yang berhembus pelan lalu berubah menjadi badai yang memporakporandakan kota dan desa. Ada yang belajar dari apel yang jatuh disamping bulan yang menggantung dilangit tanpa tangkai itu. Ada guru yang banyak berkata tanpa berbuat. Ada yang lebih pandai berbuat dari pada berkata. Ada yang memadukan kata dan perbuatan. Yang lebih istimewa diantara mereka, bila "melihatnya engkau lalu ingat langsung pada Allah, ucapanya akan menambah amalanmu dan amalanya akan membuatmu semakin cinta akhirat (khairukum man dzakarakum billahi ru'yatuh wa zada fi'amalikum mantiquh wa ragghabakum fil akhirati 'amaluh)"

Yang tak dapat belajar dari guru alam dan dinamika lingkunganya, sangat tak berpotensi belajar dari guru manusia. Yang tak dapat mengambil ibrah dari pelajaran orang lain, harus mengambil dari pengalaman sendiri, dan untuk itu ia harus membayar mahal. Bani Israil bergurukan Nabi Musa AS., salah satu Ulul Azmi para rasul dengan azam yang berdosis tinggi. Bahkan leluhur mereka nabi-nabi yang dikirim silih berganti. Apa yang kurang ? Ibarat meniup tungku, bila masih ada api dibara, kayu bakar itu akan menyala, tetapi apa yang kau hasilkan dari tumpukan abu dapur tanpa setitik api, selain kotoran yang memenuhi wajahmu.

Murid-murid Bebal

Berbicara seputar orang-orang degil, berarti menimbun begitu banyak kata seharusnya. Seharusnya Bani Israil itu berjuang sepenuh jiwa dan raga, bukan malah mengatakan: "Hai Musa, kami telah disakiti sebelum engkau datang dan setelah engkau datang" (Qs. 7:129), karena sesungguhnya meraka tahu ia benar-benar diutus Allah untuk memimpin mereka. Seharusnya mereka tidak mengatakan: "Kami tak akan masuk kesana (Palestina), selama mereka masih ada disana. maka pergilah engkau dengan Tuhanmu, biar kami dududk-duduk disini"(Qs.5:24), karena berita tenggelamnya fir'aun dilautan dan selamatnya Bani Israil, adalah energi yang besar yang mampu meruntuhkan semangat orang-orang Amalek yang menduduki bumi suci yang dijanjikan itu. Adapun ditenggelamkan itu fir'aun, mitos sejarah yang tak terbayangkan bisa jatuh. Kemudian seharusnya mereka yang dihukum karena sikap dan ucapan dungu tadi, pasrah saja di padang Tih, denan jatah Catering Manna dan Salwa serta tinggal beratapkan awan pelindung dari sengatan terik matahari. Ternyata mereka mengulangi lagi kedegilan lama mereka. "Hai Musa, kami tak bakalan sabar dengan jenis makanan monotype, cuma semacam ini, karena berdoalah engkau pada tuhanmu untuk kami, agar Ia keluarkan untuk kami tumbuhan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya "(Qs2:61).
 
Betul,manusia memerlukan guru manusia, tetapi apa yang dapat dilihatnya di terik siang dibawah sorotan lampu ribuan watt, bila matanya ditutup rapat? Tarbiyyah Dzatiyah atau pendidikan mandiri untuk menguasai mata kuliah kehidupan, sangat besar peranya. Sebuah bangsa yang sudah "merdeka" 54 tahun, namun tak peduli bagaimana menghemat cadangan energi, tak tahu bagaimana membuang sampah, ringan tangan membakar hutan dan me_WC-kan sungai-sungai kota dan desa mereka, tentulah mereka bukan bangsa yang pandai mendidik diri. Sebuah tergopoh-gopoh ikutan kampanye anti AIDS, dengan hanya menekankan aspek seks aman (dunia)saja tanpa mengingat murka Allah, tentulah bangsa itu belum kunjung dewasa. Bila diingat 6 dan 10 anak-anak mereka terancam flek paru-paru, lengkap sudah kekebalan itu.



berani bercita


Berani Bercita-cita

Pertengahan 1970-an. Bocah itu masih duduk di kelas dua SD. Dari satu-satunya televisi di kampungnya di Singosari, Malang, ia 'mengenal' anak-anak Barat seusianya. Ia pun membayangkan betapa menyenangkan bermain dengan anak-anak itu. Ia ingin berbincang dengan mereka, menggunakan bahasa mereka. Ia ingin menulis surat pada mereka. Bagaimana caranya? Ia tak tahu. Ia hanya bisa memendam keinginan itu.
Berlalunya tahun mengantarkan anak itu ke bangku SMP, sekolah pertama yang mengenalkannya bahasa Inggris. Tanpa ia sadari, ia begitu antusias dengan pelajaran itu. Bahasa Inggris menjadi pelajaran favoritnya. Apalagi ia mendapat guru yang disebutnya sangat asyik mengajar. Guru yang bukan hanya mencatat di papan tulis serta berbicara di depan kelas, namun sesekali memutarkan kaset lagu-lagu berbahasa Inggris dan meminta murid-muridnya mencatat lirik lagu tersebut. Ia tak pernah melupakan Pak Yono, gurunya itu.
Anak itu segera menjadi terbaik dalam bahasa Inggris di sekolahnya. Ia tidak pernah ikut kursus sekalipun. Tapi, bahasa sama sekali bukan hambatan baginya buat bergiat dan berprestasi di perusahaan multinasional. Tujuh tahun berkarier ia berhasil menjadi direktur dengan jangkauan sembilan negara. Ia bisa duduk sama tinggi dan berinteraksi dengan para eksekutif Barat kawan-kawan kerjanya. Ia bisa lakukan semua itu secara nyaman dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang menjadi keyakinannya. Ia bahkan tetap berjilbab.
Di saat bersama para koleganya, dan menjadi satu-satunya Melayu di tengah kawan-kawan Baratnya, ia acap tersenyum pada diri sendiri. "Waktu kecil saya ingin berteman dengan anak-anak Barat, sekarang terlaksana."
Cerita itu hanyalah salah satu kisah tentang pencapaian manusia yang tertuntun oleh cita-citanya di masa kecil. Ada ribuan bahkan jutaan kisah serupa yang dapat kita gali dari seluruh penjuru dunia. Inti kisah itu adalah sama: obsesi atau cita-cita masa kecil akan mengantarkan pada keberhasilan di masa dewasa.
Kisah semacam itu bertebaran di dunia olahraga. Para penggemar tinju tak akan pernah mendapati Chris John menjadi juara dunia kalau petinju Banjarnegara itu tak terpesona pada ayahnya yang menjadi petinju amatir. Para penggemar sepak bola tak akan pernah mengenal nama Nakata bila ikon sepak bola Jepang itu tak terobsesi dengan tokoh komik Tsubasa. Penggemar catur tak akan mengenal nama Karpov bila seorang Rusia kecil dengan bakat lemah tak nekat menembus hujan-hujan salju buat berlatih lantaran mimpinya menjadi pecatur besar.
Banyak guru, dokter, insinyur, arsitek, seniman, perajin, penulis, pilot, polisi, tentara, diplomat, periset, montir, tukang, akuntan, pemasar, bahkan pebisnis maupun kiai, sukses lantaran cita-citanya di masa kecil. Bagi mereka semua, cita-cita menjadi semacam tonggak yang akan memandu ke mana perlu melangkah. Dengan tonggak pemandu itu langkah menjadi terarah. Selain itu, langkah juga menjadi lebih berenergi lantaran cita-cita memiliki daya dorong luar biasa buat meraih keberhasilan. Bila kita tahu begitu dahsyat peran cita-cita bagi keberhasilan setiap orang, mengapa kita tak mengantungkan cita-cita??
"Gantungkan cita-citamu setinggi langit," begitu nasihat lama mengajari kita. "Berazam-lah (miliki kemauan yang tegas dan jelas), lalu bertawakallah," kata Tuhan yang tersebut dalam Alquran. Tapi, kita cenderung mengabaikannya. Padahal, bercita-cita jelas kunci pertama untuk meraih sukses. Padahal, bercita-cita tak memerlukan modal apa pun. GRATIS. Ketiadaan cita-cita yang membuat kita sulit ke mana-mana. Akibatnya, bangsa ini juga sulit ke mana-mana.
Sekarang saatnya mengakhiri keadaan itu dengan menggelorakan semangat 'berani bercita-cita'. Seluruh bangsa ini harus berani bercita-cita. Semua harus menyeru berani bercita-cita. Saya menyebarkan semangat itu lewat tulisan ini, maupun lewat jaringan Gerakan Masyarakat Sentosa di tingkat akar rumput. Selain itu, tentu setiap orang tua harus membimbing anak-anaknya agar berani bercita-cita; setiap pemimpin harus mengajak rakyatnya berani bercita-cita, setiap politisi mengajak semua pendukungnya berani bercita-cita, setiap ustaz mengajak umatnya berani bercita-cita, juga setiap guru tak berhenti memompa keberanian anak didiknya bercita-cita.
Alangkah dahsyat negeri ini ketika semua guru bertindak demikian hingga setiap anak SD memiliki cita-cita yang jelas sebagaimana murid kelas dua di Singosari, Malang, itu.