Rabu, 17 November 2010

24 Makam Paling Bersejarah Sepanjang Masa

Inilah makam-makam para tokoh paling bersejarah bagi umat islam di seluruh dunia, dan jika hal ini ada kekeliruan, maka hamba akan meminta ampun kepadamu ya Allah, karena ini hanya kutipan dari berbagai media yang beredar sekarang ini. Wallahualam bissawab: dan Engkaulah yang maha Mengetahui dari Segalanya..

HAZRAT DAWOOD (AS), Israel

 ROZA RASUL, PROPHET MUHAMMAD P.B.U.H

 One more image send by user of ROZA RASUL, PROPHET MUHAMMAD P.B.U.H

Foot Mark Of HAZRAT ADAM (AS) , Srilanka

HAZRAT AMMA HAWA, Jeddah

Abeel, Son of HAZRAT ADAM (Al.), First grave on earth, Jordan.


 Abeel (Another view of grave of Abeel), Son of HAZRAT ADAM (Al.)

HAZRAT YOUSHE (First Prophet after Adam), Jordan.


Makam-e-Ibrahim

 HAZRAT IBRAHIM-AL-KHALIL, Israel

HAZRAT LOT, Iraq


 HAZRATt SALEH (AS)

HAZRAT MOOSA (AS), Israel

HAZRAT SHOAIB (Al.)

HAZRAT HAROON (Al.)


 HAZRAT ZAKARIA (Al.)


HAZRAT YAHYA (Al.)


HAZRAT BIBI AMENA , Outside Macca

HAZRAT BIBI HALEEMA, Outside Madina.


 HAZRAT ABU TALEB, Uncle of Prophet Mohammed P.B.U.H, Macca

HAZRAT BIBI KHADIJA (Ummul Moamineen), Macca


HAZRAT IMAM HASAN (AS).


 HAZRAT BIBI FATIMA ZAHRA

 HAZRAT BILAL HABASHI, Damascus

6 Sifat Perempuan Yang Menjijikkan, dan Tak bisa di Jadikan Istri



1. Al -Anaanah:
banyak keluh kesah. Yg selalu merasa tak cukup, apa yg diberi semua tak cukup. diberi rumah tak cukup, diberi motor tak cukup, diberi mobil tak cukup, dll. Tak redha dg pembelaan dan aturan yg diberi suami. Asyik ingin memenuhi kehendak nafsu dia saja, tanpa memperhatikan perasaan suami, tak hormat kepada suami apalagi berterima kasih pada suami. Bukannya hendak menolong suami, apa yg suami beri pun tak pernah puas. Ada saja yg tak cukup.

2. Al-Manaanah:
suka mengungkit. Kalau suami melakukan hal yg dia tak berkenan maka diungkitlah segala hal tentang suaminya itu. sangat senang hendak membicarakan suami: tak ingat budi, tak bertanggungjawab, tak sayang dan macam-macam. Padahal suami sudah memberi perlindungan macam2 padanya.

3. Al -Hunaanah:
ingin pada suami yg lain atau berkenan kpd lelaki yg lain. sangat suka membanding-bandingkan suaminya dg suami/lelaki lain. Tak redha dg suami yg ada.

4. Al- Hudaaqah: suka memaksa. Bila hendak sesuatu maka dipaksa suaminya melakukan. Pagi, petang malam asyik menekan dan memaksa suami. Adakalanya dg berbagai ancaman: ingin lari, ingin bunuh diri, ingin membuat malu suami, dll. Suami dibuat seperti budaknya, bukan sebagai pemimpinnya. Yg dipentingkan adalah kehendak dan kepentingan dia saja.

5. Al -Hulaaqah:
sibuk bersolek atau tidur atau santai2 dll hingga lalai dg ibadah-ibadah asas, seperti solat berjemaah, wirid zikir, mengurus rumah-tangga, berkasih sayang dg anak2, dll.

6. As-Salaaqah:
banyak berbicara, menggosip. Siang malam, pagi petang asik menggosip terus. Apa saja yg suami kerjakan selalu tidak benar dimatanya. Zaman sekarang ni bergosip bukan saja berbicara di depan suami, tapi dg telfon, SMS, internet, BBM dan macam2 cara yang lain . Yg jelas isteri tu asyik menyusahkan suami dg kata2nya yg menyakitkan.

sumber : http://unikboss.blogspot.com

ilmu pembersih hati

Ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. Dengan do'a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermamfaat.
Apakah hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermamfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.
Oleh karena itu, dalam kacamata ma'rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. "Ilmu yang berguna," ungkapnya, "ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati." seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, "Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri."
Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).
Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!
Akan tetapi, walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.
Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.
Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.
Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.
Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat.
Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat.
Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat.
Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.
Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?
Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.***

Sumber : Hamba Allah (tidak ingin disebutkan namanya)

IBUKU, TANGGUH!

Pernah suatu sore, ibu pulang dengan tapak kaki berdarah. Tertusuk kerikil, terangnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan semenjak pagi, wanita yang kasihnya tak terbilang nilai itu mengakhirinya dengan sedikit ringisan, "Tidak apa, cuma luka kecil
kok," tenang ibu.

Padahal, baru dua hari lalu beberapa orang warga yang tak satu pun saya mengenalnya membopong ibu dalam keadaan pingsan. Ternyata ibu kelelahan hingga tak kuat lagi berjalan. Bermil-mil ia mengetuk pintu ke pintu rumah orang yang tak dikenalnya untuk menawarkan jasa mengajar baca tulis Al Qur'an bagi penghuni rumah. Tak jarang suara
hampa yang ia dapatkan dari dalam rumah, sesekali penolakan, dan tak terbilang kata, "Maaf, kami belum butuh guru mengaji." Tapi ibu tetap tersenyum.

Sejak perceraiannya dengan ayahku, ibu yang menanggung semua nafkah lima anaknya. Pagi ia berjualan nasi dan ketupat bermodalkan sedikit keterampilan memasak yang ia peroleh selagi muda dulu. Menjelang siang ia memulai menyusuri jalan yang hingga kini takkan pernah bisa ku ukur, menawarkan jasa dan keahliannya mengajar baca tulis Al Qur'an.
Selepas isya' kami ke lima anaknya menunggu setia kepulangan ibu dipinggir jalan.

Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?

Biasanya kami berebut untuk menjadi tukang pijat ibu, saya di kepala, abang di kaki, sementara kedua tangan ibu dikeroyok adik-adik. Kecuali si cantik bungsu, usianya kurang dari empat tahun kala itu. Bukannya ibu yang tertidur pulas, justru kami yang terlelap satu persatu terbuai indahnya nasihat lewat tutur cerita ibu.

Tengah malam saya terbangun, melihat ibu masih duduk bersimpuh di sajadahnya. Ia menangis sambil menyebut nama kami satu persatu agar Allah membimbing dan menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga pernah melahirkannya. Saya ternganga sekejap untuk kemudian terlelap kembali hingga menjelang subuh ia membangunkan kami.

Selepas subuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu dibalas oleh Allah itu meneruskan pekerjaanya menyiapkan dagangan. Sementara kami membantu ala kadarnya. Tak pernah saya melihat ia mengeluh meski teramat sudah peluhnya.

Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?

Pagi hari di sela kesibukannya melayani pembeli, ia juga harus menyiapkan pakaian anak-anak untuk ke sekolah. Sabar ia meladeniteriakan silih berganti dari kami yang minta pelayanannya. Wanita yang namanya diagungkan Rasulullah itu, tak pernah marah atau kesal.
Sebaliknya dengan segenap cinta yang dimilikinya ia berujar, "abang sudah besar, bantu ibu ya."

Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?

***

Kini, setelah berpuluh tahun ia lakukan semua itu, setelah jutaan mil jalan yang ia susuri, bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di hadapan Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya apakah ia begitu lelah. Karena saya teramat tahu, Ibuku tangguh.

realita : kisah seorang sahabatku yang kini telah berpulang keistanamu ya allah...

belajar mengupas diri

Saya belajar,
bahwa saya tidak dapat memaksa orang lain mencintai saya.
Saya hanya dapat melakukan sesuatu untuk orang yang saya cintai...
Saya belajar,
bahwa butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan dan hanya beberapa detik saja untuk menghancurkannya...
Saya belajar,
bahwa orang yang saya kira adalah orang yang jahat, justru adalah orang yang membangkitkan semangat hidup saya serta orang yang begitu perhatian pada saya....
Saya belajar,
bahwa persahabatan sejati senantiasa bertumbuh walau dipisahkan oleh jarak yang jauh.
Beberapa diantaranya melahirkan cinta sejati...
Saya belajar,
bahwa jika seseorang tidak menunjukkan perhatian seperti yang saya inginkan, bukan berarti bahwa dia tidak mencintai saya....
Saya belajar,
bahwa sebaik-baiknya pasangan itu, mereka pasti pernah melukai perasaan saya,
dan untuk itu saya harus memaafkannya......
Saya belajar,
bahwa saya harus belajar mengampuni diri sendiri dan orang lain...., kalau tidak mau dikuasai perasaan bersalah terus menerus....
Saya belajar,
bahwa tidak masalah berapa buruknya patah hati itu, dunia tidak pernah berhenti hanya gara-gara kesedihan saya...
Saya belajar,
bahwa saya tidak dapat merubah orang yang saya sayangi, tapi semua itu tergantung dari diri mereka sendiri....
Saya belajar,
bahwa lingkungan dapat mempengaruhi pribadi saya, tapi saya harus bertanggung jawab untuk apa yang saya telah lakukan....
Saya belajar,
bahwa dua manusia dapat melihat sebuah benda, tapi kadang dari sudut pandang yang berbeda....
Saya belajar
bahwa tidaklah penting apa yang saya miliki, tapi yang penting adalah siapa saya ini sebenarnya....
Saya belajar,
bahwa tidak ada yang instant atau serba cepat di dunia ini, semua butuh proses dan pertumbuhan, kecuali saya ingin sakit hati....
Saya belajar,
bahwa saya harus memilih apakah menguasai sikap dan emosi atau sikap dan emosi itu yang menguasai diri saya...
Saya belajar,
bahwa saya punya hak untuk marah, tetapi itu bukan berarti saya harus benci dan berlaku bengis....
Saya belajar,
bahwa kata-kata manis tanpa tindakan adalah saat perpisahan dengan orang yang saya cintai...
Saya belajar,
bahwa orang-orang yang saya kasihi..., adalah mereka yang sering segera diambil dari kehidupan saya...