Pernah suatu sore, ibu pulang dengan tapak kaki berdarah. Tertusuk kerikil,
terangnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan semenjak pagi, wanita
yang kasihnya tak terbilang nilai itu mengakhirinya dengan sedikit ringisan,
"Tidak apa, cuma luka kecil
kok," tenang ibu.
Padahal, baru dua hari lalu beberapa orang warga yang tak satu pun saya
mengenalnya membopong ibu dalam keadaan pingsan. Ternyata ibu kelelahan hingga
tak kuat lagi berjalan. Bermil-mil ia mengetuk pintu ke pintu rumah orang yang
tak dikenalnya untuk menawarkan jasa mengajar baca tulis Al Qur'an bagi
penghuni rumah. Tak jarang suara
hampa yang ia dapatkan dari dalam rumah, sesekali penolakan, dan tak
terbilang kata, "Maaf, kami belum butuh guru mengaji." Tapi ibu tetap
tersenyum.
Sejak perceraiannya dengan ayahku, ibu yang menanggung semua nafkah lima anaknya. Pagi ia
berjualan nasi dan ketupat bermodalkan sedikit keterampilan memasak yang ia
peroleh selagi muda dulu. Menjelang siang ia memulai menyusuri jalan yang hingga
kini takkan pernah bisa ku ukur, menawarkan jasa dan keahliannya mengajar baca
tulis Al Qur'an.
Selepas isya' kami ke lima
anaknya menunggu setia kepulangan ibu dipinggir jalan.
Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?
Biasanya kami berebut untuk menjadi tukang pijat ibu, saya di
kepala, abang di kaki, sementara kedua tangan ibu dikeroyok adik-adik. Kecuali si
cantik bungsu, usianya kurang dari empat tahun kala itu. Bukannya ibu yang
tertidur pulas, justru kami yang terlelap satu persatu terbuai indahnya nasihat
lewat tutur cerita ibu.
Tengah malam saya terbangun, melihat ibu masih duduk bersimpuh di sajadahnya.
Ia menangis sambil menyebut nama kami satu persatu agar Allah membimbing dan
menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga
pernah melahirkannya. Saya ternganga sekejap untuk kemudian terlelap kembali
hingga menjelang subuh ia membangunkan kami.
Selepas subuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu dibalas oleh
Allah itu meneruskan pekerjaanya menyiapkan dagangan. Sementara kami membantu
ala kadarnya. Tak pernah saya melihat ia mengeluh meski teramat sudah peluhnya.
Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?
Pagi hari di sela kesibukannya melayani pembeli, ia juga harus menyiapkan
pakaian anak-anak untuk ke sekolah. Sabar ia meladeniteriakan silih berganti
dari kami yang minta pelayanannya. Wanita yang namanya diagungkan Rasulullah
itu, tak pernah marah atau kesal.
Sebaliknya dengan segenap cinta yang dimilikinya ia berujar,
"abang sudah besar, bantu ibu ya."
Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?
***
Kini, setelah berpuluh tahun ia lakukan semua itu, setelah jutaan
mil jalan yang ia susuri, bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di hadapan
Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya apakah ia begitu lelah.
Karena saya teramat tahu, Ibuku tangguh.
realita : kisah seorang sahabatku yang kini telah berpulang keistanamu ya allah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar