Selasa, 02 November 2010

istiqfar, dzikir dan berpikir

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar
datang menghadap Rasulullah saw dan meminta sesuatu kepada beliau.
Rasulullah bertanya kepada lelaki tersebut, "Adakah sesuatu di
rumahmu?". "Ada, ya Rasulullah!" jawabnya, "Saya mempunyai sehelai
kain tebal, yang sebagian kami gunakan untuk selimut dan sebagian
kami jadikan alas tidur. Selain itu saya juga mempunyai sebuah
mangkuk besar yang kami pakai untuk minum."
"Bawalah kemari kedua barang tersebut," sambung Rasulullah.

Lelaki itu membawa barang miliknya dan menyerahkannya kepada
Rasulullah. Setelah barang diterima, Rasulullah segera melelangnya.
Kepada para sahabat yang hadir pada saat itu beliau menawarkan,
siapakah yang mau membeli.

Salah seorang menawar kedua barang itu dengan harga satu dirham.
Tetapi Rasulullah menawarkan lagi, barangkali ada yang sanggup membeli
lebih dari satu dirham, "Dua atau tiga dirham?" tanya Rasulullah
kepada para hadirin sampai dua kali. Inilah lelang pertama kali yang
dilakukan Rasulullah.

Tiba-tiba ada salah seorang sahabat menyahut, "Saya beli keduanya
dengan harga dua dirham." Rasulullah menyerahkan kedua barang itu
kepada si pembeli dan menerima uangnya. Uang itu lalu beliau serahkan
kepada lelaki Anshar tersebut, seraya berkata, "Belikan satu dirham
untuk keperluanmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kapak dan engkau
kembali lagi ke sini."


Tak lama kemudian orang tersebut kembali menemui Rasulullah dengan
membawa kapak. Beliau melengkapi kapak itu dengan membuatkan gagangnya
terlebih dahulu, lantas berkata: "Pergilah mencari kayu bakar, lalu
hasilnya kamu jual di pasar, dan jangan menemui aku sampai dua pekan."

Lelaki itu taat melaksanakan perintah Rasulullah. Setelah dua pekan ia
menemui kembali Rasulullah untuk melaporkan hasil kerjanya. Lelaki itu
menuturkan bahwa selama dua pekan itu ia telah berhasil mengumpulkan
uang sepuluh dirham setelah sebagian dibelikan makanan dan pakaian.

Mendengar penuturan lelaki Anshar itu, Rasulullah bersabda,
pekerjaanmu ini lebih baik bagimu daripada kamu datang sebagai
pengemis, yang akan membuat cacat di wajahmu kelak pada hari kiamat."

Melalui kisah ini kita diberi pelajaran oleh Rasulullah tentang arti
pentingnya kerja. Bekerja dalam Islam bukan sekadar untuk memenuhi
kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri, martabat
kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Oleh karenanya, bekerja
dalam Islam menempati posisi yang mulia.

Islam sangat menghargai kerja atau usaha. Sedemikian tingginya
penghargaan itu sehingga orang yang bersungguh-sungguh bekerja
disejajarkan dengan mujahid fi sabilillah. Kerja tidak hanya
menghasilkan nafkah materi, tapi juga pahala, bahkan maghfirah dari
Allah swt.

Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja
dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan
kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur,
selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri,
juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan
menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Salah satunya adalah
meminta-minta. Perbuatan ini merupakan kehinaan, baik di sisi manusia
maupun di sisi Allah swt. Orang yang meminta-minta kepada sesama
manusia tidak saja hina di dunia, tapi juga akan dihinakan Allah kelak
di akhirat.

Bekerja, selain mendatangkan pahala juga memberi banyak manfaat lain.
Dengan bekerja seseorang akan selalu berpikir untuk memperbaiki mutu
pekerjaannya. Dengan demikian maka tidak ada lagi sisa waktu untuk
berandai-andai, berkhayal dan melamun. Sebaliknya, bagi orang-orang
yang menganggur, berkhayal merupakan kesibukan yang menghabiskan
waktunya. Padahal diketahui bahwa berkhayal itu merupakan bisikan
syetan. Di sinilah pangkal segala tindak kejahatan.

Untuk menanggulagi kejahatan itu sebenarnya sederhana saja. Ciptakan
lapangan pekerjaan dan suruh semua orang bekerja, terutama para
pemudanya. Insya-Allah secara otomatis angka kriminalitas menurun
drastis.

Bekerja juga berkait dengan kesucian jiwa. Seorang yang sibuk bekerja
akan kehabisan waktu untuk bersantai-santai, ngobrol sana-sini,
apalagi melakukan ghibah, membincangkan orang lain. Ghibah tidak saja
merupakan kebiasaan wanita, tapi juga kaum laki-laki yang banyak waktu
luangnya.

Begitu pentingnya arti bekerja, sehingga syariaat Islam menetapkannya
sebagai suatu kewajiban. Setiap muslim yang berkemampuan wajib
hukumnya bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang sangat dihormati.
Ilmunya luas dan muridnya banyak. Di tengah kesibukannya belajar dan
mengajar, ia masih menyempatkan diri untuk bekerja sehingga tidak
jelas lagi apakah ia seorang pedagang yang ulama atau ulama yang
pedagang. Baginya, berusaha itu suatu keharusan, sedangkan berjuang,
belajar dan mengajarkan ilmu itu juga kewajiban.

Suatu kali ia didapati oleh salah seorang sedang berdagang. Orang tadi
merasa iba bercampur heran, kenapa ulama besar sekaliber itu masih
juga bekerja. Ia tanyakan hal itu kepada sang Imam, dan kemudian
didapatkan suatu jawaban yang luar biasa. Ia katakan bahwa bekerja itu
bukan suatu yang hina, tapi mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Bukankah nabi-nabi Allah adalah para pekerja? Sebagian menjadi
penggembala, petani, tukang pande besi, juga pedagang.


Di tengah kaumnya, Rasulullah saw dikenal sebagai pedagang yang
sukses. Beliau tidak hanya berhasil mengembangkan modal istrinya, tapi
juga modal yang ditanam oleh masyarakat sekitarnya. Beliau tidak hanya
sukses membawa keuntungan materi, tapi juga sukses mengharumkan
namanya. Di tengah masyarakatnya beliau dikenal jujur dan amanah.
Di tengah praktek bisnis yang kotor, penuh tipu daya, beliau berhasil
mengembangkan paradigma baru yang sama sekali berbeda dengan yang
sudah ada.

Tentang nilai usaha ini, Islam tidak hanya bicara dalam dataran teori,
tapi juga memberikan modelnya. Artinya, konsep kerja itu menyangkut
juga aplikasinya. Bukankah Rasulullah sebagai uswatun hasanah, top
figure ummat Islam adalah seorang pekerja? Bukankah para sahabat yang
mengelilingi beliau adalah juga para pekerja?


Dalam pandangan Islam, seorang yang bersusah-payah mencari rezeqi yang
halal, yang hasilnya digunakan sepenuhnya di jalan Allah disamakan
derajatnya dengan para mujahid yang berperang di jalan Allah.
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang berkarya
dan terampil. Barangsiapa yang bersusah-payah mencari nafkah untuk
keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah
Azza wa Jalla." (HR Ahmad)

Kelelahan seorang muslim dalam mencari rezeki dinilai oleh Allah
sebagai pahala. Bahkan bisa menjadi penebus dosa. Orang yang pulang ke
rumah dalam keadaan kepayahan karena seharian bekerja akan diampuni
oleh Allah swt. Dalam kaitan ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah
sabdanya: "Barangsiapa yang pada malam harinya merasa kelelahan karena
bekerja pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah
swt." (HR Ahmad)

Kenapa orang yang bekerja itu mendapatkan pahala di sisi Allah swt?
Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam itu merupakan
kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqih, orang yang menjalankan
kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang
meninggalkannya akan terkenai sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja
ini Rasulullah bersabda, "Mencari rizqi yang halal itu wajib sesudah
menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya)." (HR
ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Karena bekerja merupakan kewajiban ummat Islam, maka jangan heran jika
Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar
keluar untuk mencari nafkah. Umar tidak suka melihat orang yang pada
siang hari tetap asyik duduk berdzikir di masjid, sementara sinar
matahari sudah berpancar. Dzikir tidak hanya bisa dilakukan di masjid,
tapi juga bisa dilakukan di pasar, di kantor, di jalan, dan di mana
saja.

Berlaku jujur kepada pembeli itu merupakan dzikir. Tidak mengurangi
timbangan, termasuk tidak mengurangi kualitas itu juga dzikir. Banyak
orang yang mengira bahwa mengurangi timbangan saja yang berdosa,
sedangankan mengurangi kualitas tidak apa-apa. Padahal setiap
pengurangan, baik secara kuantitas (jumlah satuan), maupun kualitas
(mutu barang) sama-sama mengurangi kadar, ukuran, takaran, atau
timbangan. Keduanya merupakan perbuatan kriminal dalam perdagangan.

Berdzikir dalam perjalanan adalah displin berlalu lintas. Tidak ngebut
yang dapat mencelakakan diri maupun orang lain. Taat mengikuti
rambu-rambu lalu lintas, dan tidak mentang-mentang di jalan raya.

Berdzikir di kantor adalah melaksanakan semua pekerjaan dengan baik
dan rapi, disiplin waktu, dan melaksanakan tugas sesuai dengan standar
mutu. Termasuk dzikir di kantor adalah menundukkan pandangan ketika
melihat atau berhadapan dengan karyawati, suatu aktivitas yang sulit
dihindari pada saat ini.

Ungkapan dzikir yang dilakukan oleh orang yang sedang bekerja sangat
berbeda artinya bila dibandingkan dzikirnya orang yang sedang berdiam
diri. Ketika seseorang mendapat musibah dalam bekerja kemudian dia
berucap "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" jauh lebih bermakna
dibandingkan bila diucapkan oleh orang berdiam diri. Ketika seseorang
dapat menyelesaikan suatu pekerjaan berat kemudian dia berucap
"alhamdulillahi rabbil 'alamin", maka penghayatannya jauh lebih
mendalam daripada ucapan bibir tanpa aksi.

Ketika seseorang melakukan kesalahan atau melihat suatu kemaksiatan,
kemudian dia beristighfar, maka istighfarnya menjadi lebih bermakna
ketimbang seribu istighfar yang  dilakukan orang yang sedang tidak
beraktivitas apa-apa. Justru di sinilah nilainya bekerja.

Istighfar semacam ini mungkin jauh lebih berarti daripada istighfarnya
ribuan orang yang dikumpulkan di lapangan dalam suatu acara istighasah
yang penuh dengan rekayasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar