Nasib manusia tak ubahnya seperti roda
yang berputar. Kadang ia berada di atas, namun pada kali lain tiba-tiba berada
di bawah. Hari ini seseorang mungkin tengah asyik menikmati karunia kemuliaan.
Hidup penuh gelimang penghargaan, penghormatan, dan pujian dari sesama manusia
lantaran harta, gelar, dan jabatan tergenggam di tangan. Akan tetapi, esok lusa
mungkin ia jatuh terpuruk menjadi makhluk yang hina dina.
Hidup berlumuran aib, sehingga ke mana
pun kakinya melangkah, cercaan, celaan, cibiran, dan cemoohan senantiasa menimpuki
sekujur tubuhnya. Orang-orang yang dulu menghormati dan mengalunginya dengan
sanjung puji telah menjauhinya sejauh-jauhnya. Tinggallah ia sendiri menjalani
hidup tanpa harga diri. Beruntunglah bila semua hanyalah "sekadar"
ujian dari Allah dan disadari sepenuhnya, sehingga ia pun menjadi ahli syukur
ketika ujian berupa bala bencana datang mendera.
Tetapi, sungguh amat celaka bila semua
itu tak lebih merupakan laknat Allah sehingga datangnya dunia membuat ia
terlena, sehingga ia tidak punya harga hidup di dunia. Sedangkan datangnya
bencana membuat dirinya benar-benar tidak lagi punya harga hidup di dunia. Baik
dalam pandangan manusia maupun dalam pandangan-Nya. Harga diri adalah barang
teramat mahal yang sekali-kali tidak akan bisa dibeli dengan uang.
Namun, sayangnya manusia yang telah
mabuk dengan harta, gelar, dan kedudukan, justru beranggapan bahwa harga diri
akan datang bila segala asesoris duniawi itu tergenggam erat di tangan.
Padahal, demi Allah, itulah jiwa materialistis yang akan menghancurkan harga
diri seseorang. Menurut Prof Emil Salim, ada lima ciri bangsa yang telah
terasuki karakter kapitalistik. Pertama, segalanya hanya diukur dengan materi.
Kedua, rakus, tamak, dan tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan
diri.
Ketiga, aji mumpung. Keempat,
individualistis atau hanya mau mementingkan dirinya sendiri. Dan kelima, hanya
mau berkalkulasi untung rugi. Sekiranya kita telah ikut terasuki karakter
seperti ini, maka hancurnya harga diri dan tinggal menunggu waktu. Apa saja
faktor penghancur harga diri tersebut? Tak tahu malu dan enggan membalas jasa
budi baik orang lain merupakan dua di antara empat karakter negatif yang sangat
potensial membuat terpuruknya kemuliaan diri itu.
Tidak tahu malu
Inilah faktor pertama yang sangat potensial dapat menghancurkan harga diri
kita. Sekali seseorang tebal muka, bermuka badak, maka ia tidak akan pernah
merasa malu kalau hidupnya menjadi beban bagi orang lain. Di rumah, di kantor,
maupun di lingkungan masyarakatnya ia hanya menjadi beban lantaran telapak
tangannya selalu ia tadahkan kepada orang lain. Ketika pergi ke sekolah atau ke
kantor, ia sangat senang mencari tumpangan.
la begitu menikmati jok mobil atau
motor temannya tanpa sedikit pun terlintas di benaknya untuk membalas jasa,
membelikan bensin atau mencucikan kendaraannya, misalnya. Hidup berkeluarga,
bertahun-tahun ikut numpang di rumah mertua, namun semuanya ia jalani dengan
ringan, tanpa berpikir sama sekali untuk turut membayarkan listrik, telepon,
atau air ledeng yang sehari-hari dipakainya. Pemuda yang telah tamat sekolah,
susah mencari kerja, tetapi sehari-hari hanya duduk mencangkung, sementara
batang demi batang rokok ia isap, yang uang pembelinya ia dapatkan dari orang
tua.
Siapa pun yang selama hidupnya hanya
mengharapkan uluran tangan orang lain tanpa kemauan untuk suatu ketika
memberikan sesuatu kepada orang lain, maka sehebat apapun ia, manusia-manusia
benalu semacam ini tidak akan pernah mempunyai nilai. Islam mengajarkan, harga
diri kita harus dijaga sekuat-kuatnya. Allah yang Mahakaya tidak mungkin lupa
terhadap kebutuhan hamba-hamba-Nya. Terlalu berharap banyak dari makhluk, banyak
suka terhadap apa yang ada di tangan orang lain; semua ini hanya akan membuat
rontoknya wibawa dan kemuliaan diri kita.
Benar, kita memiliki beberapa kekurangan yang membuat kita membutuhkan
pertolongan orang lain. Akan tetapi, hal yang harus kita ingat baik-baik adalah
bahwa setiap kali kita menjadi beban bagi orang lain, maka kita pun harus
berjuang sekuat tenaga agar bisa meringankan beban orang lain semampu kita.
Belajarlah untuk malu menikmati sesuatu yang bukan menjadi hak kita. Karena,
tanpa ini kita tidak akan pernah mempunyai harga dalam mengarungi hidup di
dunia ini.
Tidak tahu balas budi
Membalas budi baik yang pernah dilakukan orang lain terhadap kita, sebenarnya bukanlah perkara yang sulit. Akan tetapi, sungguh tidak banyak orang yang memiliki kemauan dan kemampuan semacam ini. Padahal, ketika sangat membutuhkan bantuan seseorang. Kita begitu bersungguh-sungguh mengiba karena amat berharap orang sudi memberikan pertolongan. Namun. begitu masalah terpecahkan, kita pun segera melupakannya seolah-olah jalan keluar itu datang dengan sendirinya.
Satu contoh ringan saja. Ketika sakit
biasanya kita segera pergi ke dokter untuk berobat. Namun, apa yang terjadi
setelah penyakit sirna dari tubuh? Kita pun segera kembali tenggelam dengan
kesibukan sehari-hari. Hampir tidak pernah terlintas dalam pikiran kita untuk mengangkat
gagang telepon atau menulis surat sekadar untuk mengucapkan terima kasih kepada
dokter tersebut. "Bukankah sudah saya berikan sekian ribu rupiah untuk
jasa pengobatan?," itulah yang paling lumrah kita ucapkan.
Bahkan, ada sebuah pepatah,
"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Bertahun-tahun seseorang
telah menghidupi kita. Dari asalnya seorang pengangguran, diberinya kita
lapangan pekerjaan. Kebutuhan kita pun jadi tercukupi berkat imbalan yang
diberikan. Terkadang kita lalai, terkadang pula mungkin sempat mengambil yang
bukan menjadi hak kita. Namun, tidak membuat kita diberhentikan dari pekerjaan.
Apa yang terjadi kemudian?
Suatu ketika orang itu berbuat sesuatu
yang membuat perasaan kita tersakiti, maka serta-merta hilanglah segala kebaikan
yang selama ini ia berikan. Yang melingkar di dalam pikiran justru keburukan
yang pernah dilakukannya kepada kita itu, walau mungkin hanya satu kali. Bukan
tidak mungkin pula, hal itu hanya sebuah kesalahpahaman. Nah, bisakah harga
diri kita pertahankan bila memiliki karakter demikian? Sanggupkah kita mengubah
persepsi negatif terhadap orang lain yang justru diakibatkan oleh peremehan
kita terhadap jasa orang tersebut? Mari kita renungkan dalam-dalam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar